Resensi Buku: "Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998"
Kraton, Raja & Posisinya di Masyarakat
Bagi masyarakat Jawa, Kraton merupakan institusi yang berpengaruh bagi kehidupan kebudayaan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Kraton, menurut Kustiniyati Mochtar, adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah, dan kebudayaan. Melalui bukunya yang berjudul "Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998", Ageng Pangestu Rama berupaya mengupas tentang kehidupan Kraton, petingginya dan bagaimana posisi Kraton dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Peranan pemimpin Kraton alias Raja bagi masyarakat Jawa memiliki tempat yang khusus. Raja dinilai sebagai manusia yang memiliki karisma dan kekuatan luar biasa yang dikenal dengan konsep dewa-raja (inkarnasi dewa) pada masa Hindu atau khalifatullah pada masa setelah kedatangan Islam.
Raja dipandang memiliki tiga macam wahyu, yang menjelaskan keadaan di atas yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah.Wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan. Wahyu hukumah adalah Raja sebagai sumber hukum dan keputusannya dianggap mutlak karena dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah adalah Raja dianggap sebagai penerang dan pelindung rakyat.
Proses pencitraan Raja sebagai seseorang yang perkasa, dilakukan dengan sangat baik. Baik melalui karya sastra gubahan para pujangga; makna simbolik dari berbagai bangunan maupun upacara; serta peng-keramat-an berbagai hal di sekitar para bangsawan tersebut. Jika menilik dari kebiasaan penamaan benda-benda Kraton mulai dari senjata hingga barang 'remeh temeh' seperti perkakas dapur, dapat diambil kesimpulan bahwa barang-barang tersebut dianggap bernilai tinggi. Hal ini berbeda dengan perlakuan pencatat sejarah terhadap masyarakat. Nyaris tak pernah dicatatkan nama 'rakyat biasa', kecuali mereka mempunyai kesaktian atau memiliki hubungan dengan anggota kerajaan.
Pencitraan tersebut merupakan suatu hal yang wajar, mengingat ada sebagian manusia yang memiliki kebutuhan akan kekuasaan lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Jika ditilik dari pola suksesi, cara memperoleh pendapatan, maupun peluang terhadap outsiders untuk masuk ke dalam lingkaran mereka, Kerajaan memiliki kemiripan dengan perusahaan keluarga.
Kerajaan = Perusahaan Keluarga
Melihat pola sejarah di Nusantara, bisa didapatkan kesimpulan bahwa antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain, memiliki hubungan kerabat. Kelompok penguasa tersebut sangat sulit ditembus oleh orang di luar lingkaran, kecuali orang luar tersebut mengabdi kepada bangsawan seperti Gajahmada.
Hal ini mirip dengan perusahaan keluarga tradisional yang marak di Asia Tenggara tahun 1900-an. Perusahaan keluarga, seperti yang tercermin dari namanya, merupakan suatu entitas bisnis yang dikelola oleh anggota keluarga. Biasanya, sistem kepemilikan perusahaan akan diserahkan pada keturunannya atau setidaknya masih kerabat.
Sistem informasi di dalam perusahaan keluarga biasanya sangat tertutup, terutama di bidang finansial. Maka tak heran, biasanya posisi kasir maupun pencatat keuangannya berasal dari keluarga terdekat yang bisa dipercaya. Jikalau ada orang di luar keluarga yang hendak masuk dalam perusahaan tersebut, maka mereka harus mengabdi.
Problem utama dari perusahaan keluarga dan kerajaan adalah suksesinya. Tidak semua suksesor yang masih memiliki hubungan kerabat itu merupakan manusia-manusia yang berkapasitas baik. Tak jarang, karena ingin berebut posisi 'putera mahkota', saling sikut diantara para suksesor, meskipun saudara kandung, kerap terjadi. Dan biasanya jika incumbent lebih memilih outsider sebagai penggantinya, ada perasaan tak rela di antara kaum kerabat sang Raja. "Ini perusahaan, Kakek saya yang mendirikan" atau "Wong dulu Mbah Buyut saya yang jadi Raja pertama disini. Masa' kekuasaannya dipindah ke orang yang nggak ada darah birunya.", kira-kira begitulah komentar mereka yang tersisih.
Mirip dengan perusahaan yang berusaha mengekspansi pangsa pasarnya untuk memperoleh tambahan pendapatan, Kraton juga mempunyai kebutuhan yang sama. Kraton Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Tribuwana Tungga Dewi yang kemudian berlanjut ke anaknya yang bernama Hayam Wuruk, mengalami ekspansi tanah jajahan besar-besaran atas jasa Patih Gajahmada. Mereka berusaha menaklukan Sumatera hingga Papua. Dengan bertambahnya daerah jajahan, maka pendapatan Kraton tersebut juga meningkat. Hal ini di dapat dari upeti daerah jajahan atau segala hal yang dihasilkan dari tanah Kerajaan. Khusus mengenai tanah, disebutkan buku Kebudayaan Jawa ini bahwa Raja merupakan pemilik semua tanah yang dengan sendirinya mempunyai hak pakai, mencabut hak-hak dari pemegang tanah ataupun memberikan kepada pihak lain. Siapapun yang ingin memanfaatkan tanah harus mendapatkan izin Raja dengan syarat membayar pajak dan melakukan kerja wajib.
Sekelumit Cerita dari Tiap Kraton Jawa
Dimulai dari kisah Mataram Kuno yang mengutamakan pendidikan humaniora mulai dari ilmu bahasa, sejarah antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan hingga tata negara. Pendidikan tersebut diperoleh pejabat pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Penguasanya berasal dari Wangsa Syailendra & Sanjaya.
Peninggalan pada masa Mataram Kuno berupa Prasasti Mantyasih (bercerita tentang tata urutan Raja Mataram Kuno); Prasasti Tulang Air (bercerita tentang Rakai Pikatan); Serat Candrakarana (berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi); Candi Prambanan (dibuat pada masa pemerintahan Rakai Pikatan); Candi Borobudur serta terjemahan dari Serat Ramayana India oleh Mpu Yogiswara. Daerah otonomi juga sudah dikenal pada masa itu.
Cerita kemudian beralih ke Kerajaan Medang a.k.a Mataram Kuno periode Jawa Timur. Raja pertamanya adalah Mpu Sindok, Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, dibuatlah Serat Sang Hyang Kamahayanikam (kitab Budha Mahayana) & Serat Brahmandapura (berisi kosmologi, kosmogoni, sejarah para resi, dan cerita pertikaian antar kasta). Sedangkan pada masa Prabu Darmawangsa Teguh (anak Mpu Sindok) yang memerintah pada 991-1007 M, berkembang derivasi dari Mahabarata yang dituliskan dalam bahasa Kawi.
Setelah Kerajaan Medang runtuh, muncullah Kerajaan Kahuripan yang didirikan Airlangga. Airlangga adalah keponakan sekaligus menantu dari Prabu Darmawangsa Teguh. Airlangga mempunyai pujangga kesayangan yaitu Mpu Kanwa. Mpu Kanwa menuliskan karya sastra Kitab Arjunawiwaha, yang didasarkan atas Wanaparwa dan salah satu upaya Kanwa dalam menuliskan sejarah Airlangga.
Pada 1042, wilayah Kerajaan Kahuripan pecah menjadi dua, yaitu Daha (Kediri) dan Jenggala. Raja yang paling terkenal dalam memerintah Kediri adalah Jayabaya. Peninggalan pada masa Kerajaan Kadiri adalah Kakawin Kresnayana karya Mpu Triguna; Kakawin Baratayudha karya Mpu Sedah & Mpu Panuluh; Kakawin Hariwangsa & Gatotkacasraya; Cerita Panji yang terinspirasi dari kisah cinta antara Raja Kediri dan putri Jenggala; Smaradahana; Bomakawya; dan Sumana Santaka karya Mpu Manoguna.
Kerajaan Kediri kemudian runtuh setelah pemberontakan Ken Arok yang didukung para Brahmana pada tahun 1222. Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari. Peninggalan Kerajaan Singasari adalah Kitab Wretasancaya & Lubdaka. Kedua kitab tersebut merupakan karya Mpu Tanakung yang dipersembahkan untuk Ken Arok.
Kerajaan Singasari akhirnya runtuh setelah Jayakatwang membunuh Kertanegara (raja Singsari). Menantu Kertanegara, yaitu Raden Wijaya menyimpan dendam kepada Jayakatwang lalu menyusun siasat untuk menjatuhkannya. Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan pasukan Mongol untuk membunuh Jayakatwang. Setelah musuh bebuyutannya terbunuh, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Mongol.
Pada tahun 1293, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Dalam keberjalanannya, Kerajaan Majapahi mencatatkan banyak konflik internal. Mulai dari Mahapati Dyah Halayuda yang melakukan adu domba terhadap orang - orang di sekitar Raden Wijaya; pemberontakkan Ra Kuti (salah satu dari tujuh putra mahkota) dengan maksud mengincar posisi Raja Jayanegara; pembunuhan Raja Jayanegara oleh Ra Tanca (putra mahkota lainnya); perseteruan antara Gajah Mada dengan Ra Kembar & Ra Banyak; Perang Bubat; serta perebutan tahta sepeninggal Hayam Wuruk.
Kerajaan Majapahit runtuh setelah mendapat serangan dari pasukan Raden Patah. Raden Patah adalah Raja pertama Demak. Kerajaan Demak mendapatkan pengaruh Islam serta menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Adipati Unus, raja Demak kedua, meninggal saat melawan Portugis di Malaka.
Buku Kebudayaan Jawa ini hanya membahas 'sedikit' tentang Kerajaan Pajang, pewaris Kerajaan Demak. Topik yang dibahas adalah Kitab Nitisruti. Ageng Pangestu Rama memaparkan bahwa Nitisruti mengungkapkan tentang ilmu sosial kontemporer, tata negara, ekonomi, pertahanan keamanan, kebudayaan, humaniora, dan diplomasi. Nitisruti dituangkan dalam bentuk Dhandhanggula; Sinom; Asmaradana; Mijil; Durma; Pucung; Kinanthi;, Megatruh.
Setelah berjarak 40 tahun dari runtuhnya Kerajaan Demak, berdirilah Kerajaan Mataram. Cerita Kerajaan Mataram dalam Buku Kebudayaan Jawa lebih bersifat mitologis, terutama tentang Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Pangeran Purbaya. Karya sastra yang terkenal adalah Serat Nitipraja. Kerajaan Mataram runtuh akibat perang saudara.
Pewaris Kerajaan Mataram adalah Kerajaan Kartasura. Dalam sejarahnya, Kerajaan Kartasura pun terpecah menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta
Kritik terhadap buku Kebudayaan Jawa 1222-1998
Meskipun buku ini berjudul "Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998", buku ini membahas Kraton yang lebih tua daripada perode tersebut yaitu Kraton Mataram Kuno yang ada sejak tahun 700-an.
Porsi pembahasan tentang masyarakatnya pun cukup sedikit. Tidak terlalu banyak diceritakan tentang pengaruh karya sastra terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. Tapi untuk yang satu ini, Ageng tak bisa disalahkan karena 'rakyat' memang hampir tak pernah diceritakan dalam sejarah.
Satu hal yang paling mengganggu saya dalam membaca buku ini adalah sub judulnya tidak mencerminkan isi pembahasan di bawahnya, serta pencomotan dari berbagai narasumber yang disajikan secara 'kasar' dan mentah.
Bagi masyarakat Jawa, Kraton merupakan institusi yang berpengaruh bagi kehidupan kebudayaan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Kraton, menurut Kustiniyati Mochtar, adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah, dan kebudayaan. Melalui bukunya yang berjudul "Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998", Ageng Pangestu Rama berupaya mengupas tentang kehidupan Kraton, petingginya dan bagaimana posisi Kraton dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Peranan pemimpin Kraton alias Raja bagi masyarakat Jawa memiliki tempat yang khusus. Raja dinilai sebagai manusia yang memiliki karisma dan kekuatan luar biasa yang dikenal dengan konsep dewa-raja (inkarnasi dewa) pada masa Hindu atau khalifatullah pada masa setelah kedatangan Islam.
Raja dipandang memiliki tiga macam wahyu, yang menjelaskan keadaan di atas yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah.Wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan. Wahyu hukumah adalah Raja sebagai sumber hukum dan keputusannya dianggap mutlak karena dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah adalah Raja dianggap sebagai penerang dan pelindung rakyat.
Proses pencitraan Raja sebagai seseorang yang perkasa, dilakukan dengan sangat baik. Baik melalui karya sastra gubahan para pujangga; makna simbolik dari berbagai bangunan maupun upacara; serta peng-keramat-an berbagai hal di sekitar para bangsawan tersebut. Jika menilik dari kebiasaan penamaan benda-benda Kraton mulai dari senjata hingga barang 'remeh temeh' seperti perkakas dapur, dapat diambil kesimpulan bahwa barang-barang tersebut dianggap bernilai tinggi. Hal ini berbeda dengan perlakuan pencatat sejarah terhadap masyarakat. Nyaris tak pernah dicatatkan nama 'rakyat biasa', kecuali mereka mempunyai kesaktian atau memiliki hubungan dengan anggota kerajaan.
Pencitraan tersebut merupakan suatu hal yang wajar, mengingat ada sebagian manusia yang memiliki kebutuhan akan kekuasaan lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Jika ditilik dari pola suksesi, cara memperoleh pendapatan, maupun peluang terhadap outsiders untuk masuk ke dalam lingkaran mereka, Kerajaan memiliki kemiripan dengan perusahaan keluarga.
Kerajaan = Perusahaan Keluarga
Melihat pola sejarah di Nusantara, bisa didapatkan kesimpulan bahwa antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain, memiliki hubungan kerabat. Kelompok penguasa tersebut sangat sulit ditembus oleh orang di luar lingkaran, kecuali orang luar tersebut mengabdi kepada bangsawan seperti Gajahmada.
Hal ini mirip dengan perusahaan keluarga tradisional yang marak di Asia Tenggara tahun 1900-an. Perusahaan keluarga, seperti yang tercermin dari namanya, merupakan suatu entitas bisnis yang dikelola oleh anggota keluarga. Biasanya, sistem kepemilikan perusahaan akan diserahkan pada keturunannya atau setidaknya masih kerabat.
Sistem informasi di dalam perusahaan keluarga biasanya sangat tertutup, terutama di bidang finansial. Maka tak heran, biasanya posisi kasir maupun pencatat keuangannya berasal dari keluarga terdekat yang bisa dipercaya. Jikalau ada orang di luar keluarga yang hendak masuk dalam perusahaan tersebut, maka mereka harus mengabdi.
Problem utama dari perusahaan keluarga dan kerajaan adalah suksesinya. Tidak semua suksesor yang masih memiliki hubungan kerabat itu merupakan manusia-manusia yang berkapasitas baik. Tak jarang, karena ingin berebut posisi 'putera mahkota', saling sikut diantara para suksesor, meskipun saudara kandung, kerap terjadi. Dan biasanya jika incumbent lebih memilih outsider sebagai penggantinya, ada perasaan tak rela di antara kaum kerabat sang Raja. "Ini perusahaan, Kakek saya yang mendirikan" atau "Wong dulu Mbah Buyut saya yang jadi Raja pertama disini. Masa' kekuasaannya dipindah ke orang yang nggak ada darah birunya.", kira-kira begitulah komentar mereka yang tersisih.
Mirip dengan perusahaan yang berusaha mengekspansi pangsa pasarnya untuk memperoleh tambahan pendapatan, Kraton juga mempunyai kebutuhan yang sama. Kraton Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Tribuwana Tungga Dewi yang kemudian berlanjut ke anaknya yang bernama Hayam Wuruk, mengalami ekspansi tanah jajahan besar-besaran atas jasa Patih Gajahmada. Mereka berusaha menaklukan Sumatera hingga Papua. Dengan bertambahnya daerah jajahan, maka pendapatan Kraton tersebut juga meningkat. Hal ini di dapat dari upeti daerah jajahan atau segala hal yang dihasilkan dari tanah Kerajaan. Khusus mengenai tanah, disebutkan buku Kebudayaan Jawa ini bahwa Raja merupakan pemilik semua tanah yang dengan sendirinya mempunyai hak pakai, mencabut hak-hak dari pemegang tanah ataupun memberikan kepada pihak lain. Siapapun yang ingin memanfaatkan tanah harus mendapatkan izin Raja dengan syarat membayar pajak dan melakukan kerja wajib.
Sekelumit Cerita dari Tiap Kraton Jawa
Dimulai dari kisah Mataram Kuno yang mengutamakan pendidikan humaniora mulai dari ilmu bahasa, sejarah antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan hingga tata negara. Pendidikan tersebut diperoleh pejabat pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Penguasanya berasal dari Wangsa Syailendra & Sanjaya.
Peninggalan pada masa Mataram Kuno berupa Prasasti Mantyasih (bercerita tentang tata urutan Raja Mataram Kuno); Prasasti Tulang Air (bercerita tentang Rakai Pikatan); Serat Candrakarana (berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi); Candi Prambanan (dibuat pada masa pemerintahan Rakai Pikatan); Candi Borobudur serta terjemahan dari Serat Ramayana India oleh Mpu Yogiswara. Daerah otonomi juga sudah dikenal pada masa itu.
Cerita kemudian beralih ke Kerajaan Medang a.k.a Mataram Kuno periode Jawa Timur. Raja pertamanya adalah Mpu Sindok, Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, dibuatlah Serat Sang Hyang Kamahayanikam (kitab Budha Mahayana) & Serat Brahmandapura (berisi kosmologi, kosmogoni, sejarah para resi, dan cerita pertikaian antar kasta). Sedangkan pada masa Prabu Darmawangsa Teguh (anak Mpu Sindok) yang memerintah pada 991-1007 M, berkembang derivasi dari Mahabarata yang dituliskan dalam bahasa Kawi.
Setelah Kerajaan Medang runtuh, muncullah Kerajaan Kahuripan yang didirikan Airlangga. Airlangga adalah keponakan sekaligus menantu dari Prabu Darmawangsa Teguh. Airlangga mempunyai pujangga kesayangan yaitu Mpu Kanwa. Mpu Kanwa menuliskan karya sastra Kitab Arjunawiwaha, yang didasarkan atas Wanaparwa dan salah satu upaya Kanwa dalam menuliskan sejarah Airlangga.
Pada 1042, wilayah Kerajaan Kahuripan pecah menjadi dua, yaitu Daha (Kediri) dan Jenggala. Raja yang paling terkenal dalam memerintah Kediri adalah Jayabaya. Peninggalan pada masa Kerajaan Kadiri adalah Kakawin Kresnayana karya Mpu Triguna; Kakawin Baratayudha karya Mpu Sedah & Mpu Panuluh; Kakawin Hariwangsa & Gatotkacasraya; Cerita Panji yang terinspirasi dari kisah cinta antara Raja Kediri dan putri Jenggala; Smaradahana; Bomakawya; dan Sumana Santaka karya Mpu Manoguna.
Kerajaan Kediri kemudian runtuh setelah pemberontakan Ken Arok yang didukung para Brahmana pada tahun 1222. Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari. Peninggalan Kerajaan Singasari adalah Kitab Wretasancaya & Lubdaka. Kedua kitab tersebut merupakan karya Mpu Tanakung yang dipersembahkan untuk Ken Arok.
Kerajaan Singasari akhirnya runtuh setelah Jayakatwang membunuh Kertanegara (raja Singsari). Menantu Kertanegara, yaitu Raden Wijaya menyimpan dendam kepada Jayakatwang lalu menyusun siasat untuk menjatuhkannya. Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan pasukan Mongol untuk membunuh Jayakatwang. Setelah musuh bebuyutannya terbunuh, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Mongol.
Pada tahun 1293, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Dalam keberjalanannya, Kerajaan Majapahi mencatatkan banyak konflik internal. Mulai dari Mahapati Dyah Halayuda yang melakukan adu domba terhadap orang - orang di sekitar Raden Wijaya; pemberontakkan Ra Kuti (salah satu dari tujuh putra mahkota) dengan maksud mengincar posisi Raja Jayanegara; pembunuhan Raja Jayanegara oleh Ra Tanca (putra mahkota lainnya); perseteruan antara Gajah Mada dengan Ra Kembar & Ra Banyak; Perang Bubat; serta perebutan tahta sepeninggal Hayam Wuruk.
Kerajaan Majapahit runtuh setelah mendapat serangan dari pasukan Raden Patah. Raden Patah adalah Raja pertama Demak. Kerajaan Demak mendapatkan pengaruh Islam serta menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Adipati Unus, raja Demak kedua, meninggal saat melawan Portugis di Malaka.
Buku Kebudayaan Jawa ini hanya membahas 'sedikit' tentang Kerajaan Pajang, pewaris Kerajaan Demak. Topik yang dibahas adalah Kitab Nitisruti. Ageng Pangestu Rama memaparkan bahwa Nitisruti mengungkapkan tentang ilmu sosial kontemporer, tata negara, ekonomi, pertahanan keamanan, kebudayaan, humaniora, dan diplomasi. Nitisruti dituangkan dalam bentuk Dhandhanggula; Sinom; Asmaradana; Mijil; Durma; Pucung; Kinanthi;, Megatruh.
Setelah berjarak 40 tahun dari runtuhnya Kerajaan Demak, berdirilah Kerajaan Mataram. Cerita Kerajaan Mataram dalam Buku Kebudayaan Jawa lebih bersifat mitologis, terutama tentang Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Pangeran Purbaya. Karya sastra yang terkenal adalah Serat Nitipraja. Kerajaan Mataram runtuh akibat perang saudara.
Pewaris Kerajaan Mataram adalah Kerajaan Kartasura. Dalam sejarahnya, Kerajaan Kartasura pun terpecah menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta
Kritik terhadap buku Kebudayaan Jawa 1222-1998
Meskipun buku ini berjudul "Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998", buku ini membahas Kraton yang lebih tua daripada perode tersebut yaitu Kraton Mataram Kuno yang ada sejak tahun 700-an.
Porsi pembahasan tentang masyarakatnya pun cukup sedikit. Tidak terlalu banyak diceritakan tentang pengaruh karya sastra terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. Tapi untuk yang satu ini, Ageng tak bisa disalahkan karena 'rakyat' memang hampir tak pernah diceritakan dalam sejarah.
Satu hal yang paling mengganggu saya dalam membaca buku ini adalah sub judulnya tidak mencerminkan isi pembahasan di bawahnya, serta pencomotan dari berbagai narasumber yang disajikan secara 'kasar' dan mentah.